Lompat ke isi utama

Berita

OPINI - Mengawal Data Pemilih di Masa Non Tahapan

foto bu dhyan

Foto Dhyan Kartika Wulandari, S.Sos saat menjadi host Podcast Menjaga Daulat Rakyat

Oleh: Dhyan Kartika Wulandari, S.Sos (Anggota Bawaslu Kabupaten Wonosobo)

Pemilihan Umum memiliki peran yang sangat penting dalam negara demokrasi. Tanpa pemilu, demokrasi akan kehilangan makna dasarnya sebagai pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Dalam pelaksanaan pemilu, terdapat tiga unsur utama yang harus ada, yakni penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu, dan DKPP), peserta pemilu (partai politik dan pasangan calon), serta pemilih, yaitu warga negara yang memenuhi syarat dan memiliki hak untuk memilih. Apabila salah satu dari ketiga unsur ini tidak terpenuhi, maka pemilu tidak dapat dilaksanakan. Oleh karena itu, keberadaan pemilih menjadi sangat penting dalam menjamin berlangsungnya pemilu yang demokratis.

Salah satu tolak ukur untuk menilai kualitas penyelenggaraan pemilu adalah keakuratan data pemilih. Semakin valid data pemilih yang digunakan, maka semakin baik pula mutu penyelenggaraan pemilu. Kualitas pemilu juga dapat dilihat dari seberapa efektif penyelenggara dalam melayani hak konstitusional warga negara yang akan menggunakan hak pilihnya. Dalam hal ini, yang menjadi fokus adalah bagaimana memastikan warga masyarakat yang memenuhi syarat dapat menggunakan hak pilihnya. Salah satu syarat untuk menggunakan hak pilih adalah tercatat dalam daftar pemilih. Jika seseorang tidak terdaftar, maka ia berisiko kehilangan hak pilihnya. Oleh karena itu, penting bagi setiap warga negara untuk memastikan dirinya telah terdaftar agar dapat berpartisipasi secara sah dan adil dalam pemilu.

Terkait sistem penyusunan data pemilih, terdapat tiga jenis sistem. Pertama adalah periodic list, yaitu daftar pemilih yang disusun secara berkala, biasanya hanya menjelang setiap pemilu atau pemilihan. Setelah tahapan selesai, data ini tidak lagi digunakan sehingga terjadi pemutusan informasi yang tidak berkelanjutan. Sistem ini pernah digunakan Indonesia sebelum beralih ke sistem continuous list, yakni sistem yang menyusun data pemilih secara berkelanjutan, di mana data pemilih dimutakhirkan terus menerus dan disimpan dengan pembaruan berkala. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 pasal 14, 17, dan 20 huruf l, sejak tahun 2017 Indonesia menggunakan sistem continuous list yang dikenal dengan istilah Daftar Pemilih Berkelanjutan (DPB). Pemutakhiran data pemilih berkelanjutan merupakan proses pembaruan data pemilih secara terus menerus berdasarkan DPT dari pemilu terakhir, dengan mempertimbangkan data kependudukan.

Pemutakhiran data pemilih berkelanjutan dipilih karena data pemilih bersifat sangat dinamis dan dapat berubah dengan cepat. Sementara itu, jarak antara satu pemilu ke pemilu berikutnya bisa memakan waktu sekitar empat hingga lima tahun. Selama masa itu, akan terjadi banyak perubahan yang signifikan, seperti kematian, pindah domisili, atau perubahan status pekerjaan. Jika tidak diperbarui secara berkala, maka data yang menumpuk dapat menyebabkan ketidaksesuaian yang berdampak pada tidak akuratnya daftar pemilih. Pemutakhiran yang berkelanjutan juga bertujuan untuk menyederhanakan proses pembaruan data pemilih pada pemilu selanjutnya. Kata “berkelanjutan” mencerminkan proses yang dilakukan terus-menerus sepanjang tahun, bahkan di luar tahapan pemilu, oleh seluruh KPU kabupaten/kota maupun provinsi.

Pada tahun 2020, sebanyak 270 kabupaten/kota menyelenggarakan PDPB dengan data awal yang berbeda. Daerah yang menyelenggarakan Pilkada menggunakan data DPT dari Pilkada sebagai basis, sementara daerah yang tidak menyelenggarakan Pilkada menggunakan data DPT dari pemilu sebelumnya. Dalam proses pemutakhiran data pemilih ini terdapat tiga komponen utama, yaitu penambahan pemilih baru, penghapusan pemilih yang tidak memenuhi syarat (TMS), dan perbaikan atau pembaruan data pemilih. Penambahan pemilih baru mencakup pemilih yang belum masuk DPT, pemilih pemula yang genap berusia 17 tahun, purna TNI/Polri, serta pemilih yang pindah masuk. Penghapusan TMS meliputi pemilih yang meninggal dunia, masuk menjadi anggota TNI/Polri, atau pindah keluar daerah. Sementara itu, pembaruan data meliputi perbaikan elemen-elemen data yang tidak valid, seperti NIK, alamat, dan status kependudukan.

Namun dalam pelaksanaannya, proses PDPB di tahun 2020 menghadapi berbagai hambatan. Pertama, banyak data yang tidak valid karena masih mengandalkan dokumen kependudukan yang belum mutakhir. Kedua, keterlambatan pembaruan data kependudukan menjadi kendala tersendiri, karena Data Konsolidasi Bersih (DKB) dari Disdukcapil hanya diterima setiap enam bulan sekali, sehingga perubahan di lapangan tidak segera terupdate di sistem. Ketiga, verifikasi data sering terkendala karena koordinasi antara KPU dan Disdukcapil belum optimal, menyebabkan ketidaksesuaian data akibat perpindahan domisili yang tidak terkonfirmasi dengan baik. Keempat, rendahnya kesadaran masyarakat untuk melaporkan perubahan data kependudukan menyebabkan akurasi data terganggu. Selain itu, masih banyak data ganda yang belum terselesaikan karena kesalahan input. Kurangnya koordinasi antarlembaga juga membuat data yang digunakan berbeda-beda. Di sisi lain, pemilih pemula belum terakomodasi secara maksimal.

Dalam konteks ini, Bawaslu sebagai lembaga pengawas pemilu juga memiliki peran penting untuk memastikan bahwa data pemilih yang digunakan dalam pemilu bersifat akurat, mutakhir, dan komprehensif. Tugas pengawasan ini dilaksanakan sesuai dengan Surat Edaran Bawaslu Nomor 29 Tahun 2025 tentang Pengawasan Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan. Dalam surat edaran tersebut, Bawaslu diamanatkan untuk melakukan pencegahan, pengawasan langsung, uji petik, memperkuat pengawasan partisipatif, serta menindaklanjuti hasil pengawasan. Namun, pelaksanaan pengawasan juga mengalami sejumlah hambatan, salah satunya adalah kendala regulasi. PKPU Nomor 1 Tahun 2025 mengatur bahwa KPU hanya wajib menyampaikan berita acara rekapitulasi PDPB dalam bentuk angka agregat tanpa mencantumkan data by name by address. Hal ini menyulitkan Bawaslu dalam melakukan uji petik maupun tindak lanjut atas saran perbaikan yang telah disampaikan. Sementara itu, sistem DPT online baru bisa diperbarui setelah rekapitulasi di tingkat nasional, sehingga memperlemah peran pengawasan Bawaslu pada tingkat kabupaten/kota. Forum koordinasi PDPB yang diselenggarakan setiap tiga bulan juga cenderung bersifat formalitas karena tidak disertai dengan akses data rinci bagi Bawaslu atau pihak-pihak terkait lainnya.

Di Kabupaten Wonosobo, pelaksanaan PDPB sejak tahun 2020 juga menghadapi beberapa catatan penting. Pertama, koordinasi antara KPU Kabupaten Wonosobo dengan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil masih mengalami kendala dalam sinkronisasi data, sehingga terjadi banyak selisih antara data kedua lembaga. Kedua, kesadaran masyarakat terhadap pentingnya administrasi kependudukan, termasuk pelaporan kematian, pindah domisili, dan pembuatan e-KTP masih rendah. Ketiga, ditemukan banyak data pemilih dari kecamatan yang tidak lengkap, seperti hanya mencantumkan nama desa/kelurahan dan alamat tanpa menyertakan NIK dan NKK, sehingga tidak dapat divalidasi dan dimasukkan ke dalam sistem. Keempat, terjadi perbedaan perlakuan antara pemilih baru dan pemilih tidak memenuhi syarat (TMS), di mana pemilih baru harus memenuhi seluruh elemen data untuk bisa masuk dalam DPB, sementara untuk TMS cukup dengan nama, NIK, NKK, dan alamat saja sudah bisa dihapuskan.

Melihat dinamika tersebut, bahwa pemutakhiran data pemilih berkelanjutan merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dengan KPU sebagai penyelenggara yang melaksanakannya. Namun, pelaksanaannya masih menghadapi berbagai persoalan, sehingga tujuan utama PDPB yaitu menyelesaikan masalah daftar pemilih dari pemilu sebelumnya dan memudahkan penyusunan daftar pemilih pada pemilu berikutnya belum tercapai secara maksimal. Di sisi lain, sumber daya pendukung, baik dari sisi SDM, anggaran, maupun regulasi teknis, belum memadai. Akibatnya, PDPB seringkali dianggap sebagai tugas sampingan KPU yang dilakukan di masa non tahapan. Selain itu, perbedaan data antara KPU dan Disdukcapil masih terjadi karena lemahnya koordinasi dan belum adanya integrasi sistem informasi. Partisipasi pemangku kepentingan lain, terutama di tingkat kecamatan, juga masih rendah. Di sisi validitas data, masih banyak ditemukan data ganda dan data invalid saat dilakukan pencocokan dengan DP4 dari Kemendagri.

Beberapa hal untuk memastikan PDPB berjalan optimal, perlu ada penguatan kerja sama kelembagaan antara KPU RI, Bawaslu RI, dan Kementerian Dalam Negeri, termasuk di dalamnya pemberian akses data kependudukan secara bersama dan berjenjang hingga ke daerah. Pemberian akses data by name by address juga penting agar fungsi pengawasan yang dilakukan Bawaslu di masa non tahapan dapat berjalan maksimal. Langkah ini menjadi bagian penting untuk mewujudkan daftar pemilih yang mutakhir, komprehensif, dan akurat sebagai fondasi utama dalam penyelenggaraan pemilu yang demokratis.

Penulis: Dhyan Kartika Wulandari, S.Sos 

(Anggota Bawaslu Kabupaten Wonosobo)