Lompat ke isi utama

Berita

KEPALA DESA DALAM PUSARAN POLITIK PRAKTIS PEMILIHAN KEPALA DAERAH

KEPALA DESA DALAM PUSARAN  POLITIK PRAKTIS  PEMILIHAN KEPALA DAERAH

Pemilihan serentak perwujudan kedaulatan rakyat  dalam memilih pemimpin daerahnya. Meskipun sempat tertunda akibat pandemi covid-19  pemilihan serentak tahun 2020 dapat dapat terselenggara dengan protokol kesehatan. Pemilihan serentak merupakan instrumen demokrasi dalam menentukan nasib pemerintahan lokal yang lebih demokratis. Pilkada merupakan salah satu terobosoan politik dalam mewujudkan demokrasi di tingkat lokal dengan tujuan dapat mewujudkan  tata pemerintahan daerah yang lebih efektif .

Kepala desa (kades) merupakan salah satu perangkat pemerintahan  di tingkat desa sehingga keberadaannya memiliki peran penting dalam penyelenggaraan pilkada di wilayahnya. Sosok kepala desa merupakan orang yang sangat dihormati oleh masyarakatnya selain sebagai pemimpin desa kepala desa merupakan tokoh panutan sehingga berpengaruh bagi masyarakat.

Keberadaan kades dianggap tim sukses atau paslon dapat  mempengaruhi untuk menghasilkan  lumbung suara yang bisa menjadi penguat kemenangan dalam pilkada sehingga banyak memanfaatkannya untuk ikut membantu dalam pemenangannya. Kenyataannya tidak sedikit kades masih masih terlibat secara langsung atau tidak langsung. Tentunya keterlibatan kepala desa dalam berpolitik praktis selain menimbulkan berbagai macam persepsi kalangan warga masyarakatnya, juga berdampak adanya sanksi  hukum atas norma yang dilanggarnya.

 

Politik Praktis Kepala Desa

Kepala desa merupakan pemegang jabatan tertinggi  pemerintahan di desanya. Sehingga  partai politik, tim sukses atau paslon,  kades dianggap sebagai pilar yang tepat bagi paslon atau tim suksesnya dalam meraih dukungan suara. Sehingga dengan bujukan janji manis tim sukses atau  pasangan calon kepada kades agar ikut serta terlibat mendukungnya.

Aturan menyatakan kades dilarang berpolitik praktis dan harus bersikap netral dalam pilkada yaitu tidak terlibat atau tidak memihak. Sebagai contoh kasus di wilayah hukum Kabupaten Wonosobo pada pilkada serentak tahun 2020,terdapat satu perkara tindak pidana pemilihan yang dilakukan oleh oknum kepala desa dapat dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Wonosobo dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Inkracht Van Gewijde) oleh Pengadilan Negeri Wonosobo diputus dengan menyatakan bersalah melakukan tindak perbuatan yang menguntungkan atau keberpihakan pada salah satu pasangan calon. Hal ini tentunya dapat membuktikan bahwa politik praktis yang dilakukan oleh kepala desa dapat berdampak hukum .

Norma Larangan

  1. Berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa:
  • Pasal 29 huruf (g) disebutkan bahwa kepala desa dilarang menjadi pengurus partai politik dan pada huruf (j) dilarang untuk ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah.

2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada :

  • Pasal 71 ayat (1) yang menyatakan : “ Pejabat negara, pejabatdaerah, pejabat aparatur  sipil negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon”.

Norma Sanksi

Sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Peraturan Perundang-Undangan adalah sebagai berikut:

1 . Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

    • Pasal 30 ayat (1), menyatakan : “Kepala Desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis.
    •  Pasal 30 ayat  (2) , menyatakan : “ Dalam hal sanksi administrative sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian”

 

      1. Undang-Undang  Nomor  10 Tahun 2016 tentang Pilkada : 

Pasal 188 , menyatakan : “Setiap pejabat negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah)”

 

Penulis : Eko Fifin Haryanti, S.H., M.H.