IKHTIAR PERKUAT KELEMBAGAAN BAWASLU AGAR MEMILIKI DAYA PAKSA
Oleh : Sarwanto Priadhi, Ketua Bawaslu Kabupaten Wonosobo
Sebagai negara demokrasi, Indonesia menjamin kedaulatan rakyatnya sebagaimana tersurat dan tersirat dalam dasar negara Pancasila dan konstitusi negara UUD 1945. Dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 alinea keempat disebutkan dengan jelas “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat….”
Sementara itu dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 disebutkan dengan tegas : “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar”; sedangkan hak politik rakyat sebagai puncak implementasi demokrasi melalui pemilihan umum ditegaskan dalam di Pasal 22E.
Agar asas-asas pemilihan umum sesuai Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 dapat terselenggara, maka salah satu aspek penting dalam penyelenggaraan pemilihan umum adalah pengawasan. Dengan adanya pengawasan maka pemilihan umum dapat berjalan sesuai dengan norma, nilai, dan aturan yang ada. Dengan demikian, kedaulatan rakyat yang diwujudkan dalam hak pilih warga negara bisa tersalurkan, dapat terjaga dengan sebenarnya tanpa manipulasi atau kecurangan. Amanat konstitusi itu telah diimplementasikan dalam Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Salah satu hal penting yang diatur dalam UU ini adalah penyelenggara pemilu yang terdiri dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Ketiga lembaga ini memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing dalam memastikan pemilu berjalan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. UU ini juga menekankan pentingnya partisipasi masyarakat serta pengawasan publik dalam setiap tahapan pemilu. Sejarah kepengawasan pemilihan umum di Indonesia telah mengalami perjalanan yang panjang.
Pada Pemilu 1982 diselenggarakan pengawas pemilu dengan sebutan Panwaslak yang saat itu dibentuk oleh Kementerian Dalam Negeri. Selanjutnya, kelembagaan pengawas makin diperjelas sebagai lembaga ad hoc sesuai Undang Undang Nomor 12 Tahun 2003. Pasca Pemilu 2004, keberadaan lembaga pengawas pemilu makin dibutuhkan sehingga melalui UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu ditetapkanlah Badan Pengawas Pemilu yang bersifat tetap di tingkat nasional, sedangkan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota masih bersifat ad hock.
Perubahan selanjutnya terjadi setelah terbitnya UU No. 15 Tahun 2011 dimana Bawaslu di tingkat provinsi ditingkatkan menjadi badan tetap dan kewenangan Bawaslu makin diperluas yaitu menerima, memeriksa, mengkaji, dan memutuskan perkara. Tak berakhir sampai di situ, melalui Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Bawaslu terus diperkuat dimana Bawaslu Kabupaten/Kota menjadi lembaga tetap dan kewenangan Bawaslu tidak semata menjadi lembaga pemberi rekomendasi sebagaimana dinyatakan dalam undang-undang pemilu sebelumnya, namun juga menjadi lembaga eksekutor atau pemutus perkara (ajudikasi).
Terkait dengan kedudukan dan kewenangan Bawaslu saat ini dan seiring dengan berjalanannya dinamika politik kekinian maka kelembagaan pengawas pemilu masih butuh penguatan. Penguatan itu makin terasa dibutuhkan bila dikaji dari sejumlah aspek atau pertimbangan. Salah satunya, berdasarkan aspek kelembagaannya, Bawaslu belum memiliki daya paksa atas putusan yang dikeluarkan.
Penguatan kelembagaan Bawaslu itu sangat penting agar pemilihan umum di Indonesia bisa segera bertarnsformasi dari pemilihan umum yang prosedural menjadi pemilihan umum yang substansial berdasarkan prinsip demokrasi yang sehat yang diwujudkan dalam free elections, fair elections, universal suffrage, voting by secret ballot serta honest counting and reporting of result.
Prinsip free elections sangat lekat pada hak kebebasan dan politik warga negara, kebebasan mengungkapkan ekspresi, pendapat dan pilihan politiknya. Prinsip fair elections adalah pemilu yang mampu menjamin kontestasi yang berkeadilan dan menjunjung kesetaraan. Berkeadilan berarti adalah kerangka hukum Pemilu didesain berdasarkan prinsip imparsial. Penegakan hukum Pemilu juga harus tidak tebang pilih, semua peserta Pemilu harus diperlakukan sama di depan hukum Pemilu. Kemudian regulasi dana kampanye yang tegas dan transparan, harus ada pemisahan yang jelas mana yang menjadi aset publik dan peserta Pemilu, melarang penggunaan dana publik dan aset publik untuk kepentingan kampanye. Pengaturan batasan dana kampanye juga menjadi isu penting untuk menjamin kontestasi yang berkeadilan.
Prinsip universal suffrage pemilu harus mampu menjamin hak memilih dan dipilih semua warga negara yang memenuhi syarat (eligible) berdasarkan undang-undang. Hak memilih dan dipilih berlaku universal, tidak mendiskriminasi jenis kelamin, minoritas, penyandang disabilitas, dan sebagainya. Penghilangan hak memilih dan dipilih oleh negara kepada warganya haruslah diatur dalam undang-undang. Jaminan hak memilih haruslah terlihat sejak pendataan daftar pemilih. Semua warga negara yang memenuhi syarat untuk memilih haruslah masuk dalam daftar pemilih. Jaminan memilih juga diberikan kepada warga negara yang tinggal di pedalaman serta yang berada di luar negeri. Kalangan disabilitas harus mendapatkan kemudahan ketika ingin memberikan suaranya di TPS, serta persyaratan untuk menjadi peserta Pemilu harus diatur dengan prinsip rasionalitas dan non-diskriminatif.
Prinsip voting by secret ballot adalah prinsip dimana penyelenggara pemilu harus mampu memastikan kerahasiaan pilihan dari para pemilih. Hal tersebut berkaitan dengan desain TPS yang harus mampu menjaga prinsip kerahasiaan. Pemilih juga harus dijaga tetap steril (sendirian) di dalam TPS ketika melakukan pencoblosan (ballot marking). Pengecualian bisa dilakukan dalam kondisi tertentu, misalkan pemilih disabilitas, pemilih buta huruf, dsb. Akan tetapi perlakuan khusus tersebut haruslah dilakukan berdasarkan peraturan.
Prinsip honest counting and reporting of result maksudnya Prinsip ini mensyaratkan kepada penyelenggara Pemilu ketika mereka menjalankan tugas penghitungan suara dan tabulasi suara bertindak secara profesional, imparsial, efisien, dan akurat. Mendasarkan pada prinsip-prinsip tersebut maka keberadaan Bawaslu dalam fungsi pengawasan (pencegahan dan penindakan) dan fungsi pengadilan (menyelesaikan sengketa) sangat penting juga mempertimbangkan nilai-nilai tersebut. Berdasarkan uraian tersebut, pertanyaan kemudian muncul: bagaimanakah penguatan kelembagaan pengawas pemilu yang ideal ke depan?
Menurut penulis ada beberapa alternatif solusi dalam upaya penguatan kelembagaan Bawaslu, yaitu :
- Amandemen UUD 1945 Amandemen UUD 1945 terutama Pasal 22E Ayat 5 itu diperlukan dalam rangka menegaskan kedudukan, tugas dan kewenangan Bawaslu sebagai pengawas pemilu yang terpisah dari kedudukan awalnya sebagai bagian dari penyelenggara pemilu. Bunyi Pasal 22E Ayat 5 adalah : “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”. Pada ketentuan ini perlu ditambahkan frasa baru sehingga keseluruhannya berbunyi : “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri; dan diawasi oleh lembaga pengawas pemilihan umum yang memiliki kewenangan dalam hal pencegahan, penindakan dan pemutusan sengketa”. Dengan adanya penambahan frasa itu maka Bawaslu akan memiliki kedudukan yang kuat baik di hadapan peserta pemilihan umum maupun penyelenggara pemilihan umum.
- Perubahan Undang Undan Nomor 7 Tahun 2017 Perubahan Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 diperlukan dalam rangka menjabarkan amanat UUD 1945 sehingga ketentuan tentang kedudukan dan kewenangan Bawaslu lebih bersifat implementatif yang meliputi : (1) pemisahan secara jelas antara Bawaslu dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU); 2) penguatan kewenangan Bawaslu agar memiliki daya paksa terhadap stakeholder kepemiluan sehingga rekomendasi dan/atau putusan Bawaslu bersifat mengikat; 3) Perlu adanya political will dari pembentuk undang-undang agar hanya ada satu pintu dalam penegakan hukum pemilu.
Apabila solusi pertama yaitu amandemen UUD 1945 tidak bisa dilaksanakan berdasarkan berbagai pertimbangan strategis maka, substansinya agar dimasukkan di dalam materi rancangan undang-undang (RUU) pemilihan umum agar proses pengawasan semakin akurat sehingga mampu menghasilkan pemilu yang sehat sesuai azas-azas kepemiluan kita. Termasuk dalam hal ini adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 104/PUU-XXIII/2025 tentang Pengujian Materil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, Rabu (30/7/2025), perlu untuk diatur dala RUU pemilihan umum. Putusan MK itu menyebutkan : “Menyatakan frasa ‘memeriksa dan memutus’ dan kata ‘rekomendasi’ pada Pasal 140 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5588) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai frasa ‘memeriksa dan memutus’ menjadi ‘menindaklanjuti’ dan kata ‘rekomendasi’ menjadi ‘putusan’.”
Demikian curah gagasan ini, semoga bermanfaat untuk kita semua yang mendambakan pemilihan umum yang makin berkualitas dan berintegritas.