REVISI UU PEMILU DAN PILKADA, MENGAPA HARUS KODIFIKASI?
Oleh :
SARWANTO PRIADHI
Menjalani masa demokrasi pasca reformasi 1998, Indonesia telah memiliki konsep demokrasi. Namun, penilaian banyak pihak proses demokrasi kita baru pada tahapan prosedural, belum sampai pada tahapan substansial. Pemilu tetap digelar secara rutin, tetapi orientasi politik yang lahir dari sistem itu kian jauh dari cita-cita konstitusi.
Terkait hal itu maka revisi Undang-Undang Pemilu adalah momentum besar untuk memperbaiki arah demokrasi elektoral Indonesia. Inilah kesempatan untuk menata ulang sistem politik kita agar lebih rasional, adil, dan bermartabat.
Revisi itu tidak boleh berhenti pada aspek teknis penyelenggaraan pemilu, tetapi harus menyentuh jantung persoalan, yakni bagaimana hukum pemilu menjadi instrumen peradaban politik bangsa.
Mengingat kepemiluan di Indonesia menyangkut Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah, maka perdebatan terhadap revisi undang-undang itu menjadi semakin menarik. Seperti di ketahui bahwa penyelenggaraan Pemilihan Umum diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, sedangkan penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah diarur dalam Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang menjadi Undang-Undang.
Adanya dua sumber undang-undang tersebut dirasa telah menimbulkan banyak permasalahan, menimbulkan tumpang tindih, ambigu, dan kesulitan pemahaman publik. Oleh sebab itu, makin banyak usulan dari berbagai kelompok masyarakat agar kedua undang-undang itu disatukan.
DPR RI telah menetapkan 41 RUU dalam Prolegnas Prioritas 2025, termasuk revisi UU Pilkada dan UU Pemilu. Masuknya dua RUU ini menegaskan pentingnya reformasi tata kelola pemilu sebagai bagian dari agenda strategis demokrasi Indonesia, yang seharusnya tidak hanya fokus pada aspek teknis, tetapi juga menyentuh akar persoalan sistemiknya, diantaranya tentang : (1) Sistem Pemilu; (2) Kelembagaan Penyelenggara; (3) Jadwal dan Model Keserentakan; (4) Politik Uang, dan (5) Aspek Lainnya.
Lantas, mekanisme revisi kedua undang-undang itu akan dilakukan seperti apa? Apakah akan menggunakan mekanisme Omnibus Law atau Kodifikasi? Untuk menuju ke sana, maka tak ada salahnya jika kita kupas apa itu Omnibuslaw dan apa itu Kodifikasi.
Di Indonesia, istilah Omnibus Law menjadi perbincangan hangat di Indonesia beberapa tahun terakhir, terutama sejak pemerintah menggulirkan Undang-Undang Cipta Kerja. Menurut O’Brien (2017), Omnibus Law adalah proses penysunan rancangan undang-undang yang mencakup berbagai topik atau isu dan kemudian disatukan ke dalam satu produk legislasi. Proses penyusunannya dianggap rumit dan memerlukan waktu yang panjang.
Pada sisi lain, Kodifikasi bisa menjadi pilihan selain Omnisbus Law. Menurut Black Law Dictionary 9th Edition, codification atau kodifikasi hukum adalah the process of compiling, arranging, and systematizing the laws of a given jurisdiction, or of a discrete branch of the law into an ordered code. Jika diartikan maka kodifikasi hukum adalah proses menyusun, mengatur, dan mensitemasisasikan hukum dari yurisdiksi tertentu, atau dari cabang hukum yang terpisah ke dalam kode yang teratur.
Menurut Satjipto Rahardjo dalam bukunya Ilmu Hukum (1991), tujuan umum dari kodifikasi hukum adalah untuk membuat kumpulan peraturan-undangan itu menjadi sederhana dan mudah dikuasai, tersusun secara logis, serasi, dan pasti.
Dalam dinamika diskursus revisi undang-undang pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah, banyak kelompok masyarakat uyang mengusulkan digunakannya mekanisme kodifikasi. Mekanisme Kodifikasi dinilai lebih baik daripada Omnibus Law.
Menurut kajian KISP (2025), Kodifikasi memiliki kelebihan, diantaranya : (1) Lebih teratur dan sistematis; (2) Semua aturan pemilu dan pilkada dihimpun dalam satu UU yang saling terintegrasi; (3) Satu sumber hukum yang lengkap dan koheren. 3.Fokus penuh hanya pada isu Pemilu dan Pilkada, mendalam dan detail; (4) Melalui Kodifikasi maka diharapkan akan mampu mewujudkan standarisasi regulasi, mempermudah pemilih, partai, dan penyelenggara, serta meningkatkan efektivitas sistem demokrasi.
Waktu terus berjalan, siklus tahapan Pemilu akan mulai dilaksanakan pada tahun 2027 mendatang. Tentunya kita berharap agar proses revisi undang-undang Pemilu dan Pilkada dapat dikerjakan secara seksama dan penuh khidmat agar dapat diselesaikan dengan segera dan menghasilkan sistem perundang-undangan yang implementatif, efektif, dan mampu menjami penyelenggaraan kepemiluan dengan jujur, adil dan berintegritas. Oleh sebab itu, kita serahkan amanat ini kepada para pembuat undang-undang, Pemerintah dan DPR RI, agar dapat dilaksanakan secara bijaksana.