MENUNGGU TINDAKLANJUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENYUSUNAN UU PEMILU DAN PILKADA
Oleh : SARWANTO PRIADHI
Gugatan yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) terkait dengan pengujian sejumlah pasal dalam Undang-Undang Pemilu dan UU Pilkada ke MK, akhirnya menuai hasil. Putusan MK tentang pemilu serentak perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Perludem itu dibacakan Ketua MK Suhartoyo, Kamis (26/6/2025).
Dalam gugatan tersebut Perludem meminta agar Pemilu untuk tingkat nasional dipisah dan diberi jarak 2 tahun dengan Pemilu tingkat daerah. Perludem menilai pemilu serentak dengan lima kotak suara di TPS telah melemahkan pelembagaan partai politik, melemahkan upaya penyederhanaan sistem kepartaian serta menurunkan kualitas kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan pemilu.
Perludem menilai pengaturan keserentakan Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden tidak lagi bisa hanya dipandang sebagai pengaturan jadwal pemilu saja. Perludem menilai pengaturan jadwal pemilu berdampak serius terhadap pemenuhan asas penyelenggaraan pemilu yang diatur Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Dia mengatakan pengaturan pada UU Pemilu yang memerintahkan pelaksanaan Pemilu Presiden, DPR, DPD, dibarengi dengan Pemilu Anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota telah membuat partai politik tidak punya waktu yang cukup untuk melakukan rekrutmen dan kaderisasi politik untuk mencalonkan anggota legislatif pada pemilu legislatif tiga level sekaligus.
Dalam Amar Putusannya MK menyatakan bahwa "Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang kedepan tidak dimaknai, “Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional”.
Selanjutnya dinyatakan pula bahwa "Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang kedepan tidak dimaknai, “Pemungutan suara diselenggarakan secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden diselenggarakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota”.
Terkait dengan pemilihan kepala daerah dinyatakan bahwa "Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678) bertentangan dengan Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatanhukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai,“Pemilihan dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Negara KesatuanRepublik Indonesia untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang dilaksanakan dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden.”
Belajar dari pengajuan pengujian oleh Perludem dan putusan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi, kiranya ada beberapa hal yang perlu diketahui. Pertama, mengapa perlu ada pemisahan pemilu nasional dan dan pemilu daerah?. Kedua, apakah jeda antara pemilu nasional dan pemilu daerah yang berakibat adanya perpanjangan masa jabatan bisa dibenarkan?
Terkait pertanyaan pertama, baik Perludem mapun Mahkamah Konstitusi menilai bahwa pemisahan kedua pemilu itu didasarkan pada upaya untuk meraih kualitas penyelenggaraan dan hasil pemilu. Perludem menilai bahwa Pemilu lima kotak secara langsung sekaligus, telah melemahkan pelembagaan partai politik. Partai menjadi tidak berdaya berhadapan dengan realitas politik ketika para pemilik modal, caleg popular dan punya materi yang banyak untuk secara transaksional dan taktis dicalonkan karena partai tidak lagi punya kesempatan, ruang, dan energi untuk melakukan kaderisasi dalam proses pencalonan anggota legislatif di semua level pada waktu yang bersamaan. Selain itu, Pemilu sebagaimana tahun 2024 menyebabkan kejenuhan pada rakyat sebagai pemilihnya.
Selain pertimbangan di atas, pemisahan kedua pemilu juga dinilai bisa menjamin eksistensi penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu, dan DKPP) sebagai lembaga tetap sebab mereka akan bekerhja penuh selama lima tahun masa jabatannya. Dengan adanya pemisahan kedua pemilu maka sudah tidak relevan lagi membicarakan status kelembagaan penyelenggara pemilu apakah sebagai lembaga tetap atau lembaga adhoc.
Terkait dengan pertanyaan kedua, kita bisa belajar dari sejarah kepemiluan di Indonesia. Sejak Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Indonesia baru bisa menyelenggarakan pemilu pada tahun 1955 atau 10 tahun setelah kemerdekaan. Hal ini dikarenakan selama periode 1945-1955 itu masih banyak terjadi gejolak politik yang mengancam kemerdekaan Indonesia, Oleh sebab itu, pemerintah Soekarno-Hatta baru dapat menyelenggarakan pemilu di tahun 1955 namun justru pemilu itulah yang dinilai sebagai pemilu paling demokratis dan berkualitas.
Pada kepemimpinan Orde Baru di bawah Soeharto, Indonesia lagi-lagi gagal menyelenggarakan pemilu dalam siklus lima tahunan karena saat itu Indonesia dalam situasi masa pemulihan akibat gejolak politik dalam negeri sehingga pemilu baru diselenggarakan pada tahun 1971 atau 16 tahun setelah Pemilu 1955. Lantas, pasca reformasi tahun 1998, Indonesia sepakat mempercepat penyelenggaraan pemilu pada tahun 1999, padahal kita baru saja menyelenggarakan pemilu di tahun 1997. Jadi, siklus lima tahunan adalah proses yang harus kita lalui tetapi proses itu juga harus memperhatikan dinamika politik yang berkembang agar pemilu dapat diselenggarakan dengan baik dan mampu pula menghasilkan para pemimpoin dan wakil rakyat yang baik pula.
Kini, setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi, tinggal kita menunggu langkah sigap dan strategis para penyelenggara pemerintahan yaitu Presiden dan DPR RI untuk menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi melalui perubahan undang-undang pemilu dan pilkada. Sebagai bagian dari penyelenggara pemilu, kami tentunya sabar menanti sambil memantau terus perkembangan waktu demi waktu.
Informasi yang kita ketahui bersama, saat ini DPR RI telah menetapkan 41 Rancangan Undang-Undang (RUU), termasuk di dalamnya adalah undang-undang pemilu dan pilkada. Semoga Tuhan YME memberikan kemudahan dan kelancaran sehingga undang-undang tersebut dapat diselesaikan tepat waktu.
Selanjutnya, terkait dengan pertanyaan kedua,