TANTANGAN BAWASLU PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 135
Oleh : Sarwanto Priadhi
Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia, belum lama ini memberikan kejutan baru bagi sistem kepemiluan kita. Sebagaimana kita ketahui bersama, MK telah mengeluarkan putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada 26 Juni 2025. Putusan tersebut merupakan hasil dari pengujian konstitusionalitas terhadap norma dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Permohonan ini diajukan oleh sejumlah pihak, termasuk kalangan akademisi dan pemerhati demokrasi, yang menilai bahwa pemilu serentak sebagaimana dilaksanakan pada 2019 dan 2024 menimbulkan beban luar biasa bagi penyelenggara dan pemilih. Pemilu serentak tersebut menggabungkan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, serta DPRD provinsi dan kabupaten/kota dalam satu hari yang sama, yang dinilai mengaburkan kualitas partisipasi pemilih serta meningkatkan risiko logistik, administratif, dan teknis. Pemohon berargumen bahwa pelaksanaan pemilu serentak model tersebut mengakibatkan pemilih tidak dapat fokus pada setiap tingkatan pemilu secara optimal, serta berpotensi mereduksi kualitas demokrasi lokal. Selain itu, mereka juga mengangkat permasalahan sistemik seperti kematian petugas KPPS akibat kelelahan ekstrem, kekacauan penghitungan suara, serta rendahnya partisipasi kritis terhadap pemilu legislatif daerah.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, MK melalui Putusan No. 135/PUU-XXII/2024 akhirnya mengabulkan permohonan untuk menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilu legislatif daerah harus dipisahkan dari pemilu nasional dengan tenggat minimal dua tahun setelah pelantikan Presiden dan Wakil Presiden. Putusan ini berlaku mulai Pemilu 2029 dan menjadi tonggak penting dalam reformasi sistem kepemiluan nasional. Pemisahan ini didasarkan atas pertimbangan efektivitas, efisiensi, dan penguatan demokrasi substantif, namun juga membawa konsekuensi sistemik terhadap struktur regulasi, kelembagaan, dan pembiayaan pemilu.
Terkait putusan MK tersebut, Anggota Bawaslu RI, Puadi dalam Rapat Urgensi Harmonisasi Pengaturan Penegakan Hukum Pemilu Pasca Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Jakarta, Rabu (23/7/2025) mengatakan bahwa pihaknya mendukung terhadap perubahan desain keserentakan pemilu pasca Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024
“Bawaslu menegaskan posisinya untuk menghormati putusan MK dan mendukung setiap perubahan yang membawa perbaikan terhadap sistem demokrasi Indonesia,” ungkap Puadi.
Sementara itu, dalam pandangan Radian Syam, Pengurus Pusat APHTN-HAN dalam diskusi APHTN-HAN bertema Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, Tindak Lanjut, Tantangan dan Solusi, Kamis (10/7/2025), Putusan MK ini menunjukan urgensi perubahan beberapa undang-undang, antara lain Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UU serta lainnya. Radian bahkan menyebutada lima tantangan pasca putusan MK itu. Pertama, kompleksitas pemilu dan pilkada uang dipisah dapat menjadi lebih rumit dan membutuhkan biaya yang besar ketimbang pemilu nasional dan daerah digabung. Kedua, partai politik harus bekerja ekstra keras menyiapkan kader terbaik untuk memperebutkan kursi parlemen dan kepala daerah. Ketiga, keterwakilan rakyat yang duduk di parlemen. Keempat, pemerintah, KPU, dan Bawaslu menghadapi banyak tantangan dalam mengelola pemilu nasional dan daerah yang dipisah. Kelima, suasana politik abadi.
Setelah mendalami berbagai analisis atas putusan MK tersebut maka Bawaslu sebagai bagian dari penyelenggara pemilu perlu untuk melakukan upaya perubahan strategis sebagai bentuk penyesuaian terhadap Putusan MK hal ini mengingat bahwa Putusan MK bersifat final and banding. Oleh sebab itu, perlu dilakukan analisis mendalam terhadap beberpa hal penting sehingga kelak dapat disampaikan sebagai usulan kepada pembuat undang-undang yaitu Pemerintah dan DPR RI.
Dalam pandangan saya, ada beberapa hal yang perlu dilakukan perubahan dalam undang-undang kepemiluan yang akan datang, diantaranya adalah :
Penetapan kalender pemilu tetap
Penetapan jadwal pemilu nasional dan pemilu daerah secara permanen melalui regulasi yang baku merupakan langkah strategis untuk menjamin kepastian politik dan stabilitas pemerintahan di Indonesia. Dengan mengatur siklus waktu pemilu secara tetap misalnya Pemilu Nasional dilaksanakan pada 2029 dan Pemilu Daerah pada 2031, maka akan memperkuat legitimasi proses elektoral dan juga mendorong pemilih untuk lebih fokus pada isu dan kandidat yang sesuai dengan level pemerintahan yang dipilih, sehingga kualitas demokrasi substantif di tingkat nasional maupun lokal dapat meningkat.
Pembatasan masa kampanye
Waktu kampanye perlu dibatasi agar tidak terlalu panjang dan tidak mengganggu stabilitas pemerintahan atau memperpanjang suhu politik. Kampanye yang terlalu lama dapat menciptakan ketegangan sosial yang berlarut-larut di masyarakat.
Metode kampanye seperti rapat umum, pemasangan alat peraga, dan penggunaan media sosial, harus dikendalikan secara ketat untuk mencegah penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan kampanye negatif yang dapat memperdalam polarisasi antar kelompok masyarakat. Media kampanye baik konvensional (TV, baliho, spanduk) maupun digital (Facebook, Instagram, TikTok, WhatsApp), harus diatur agar tetap dalam koridor etika politik, tidak memanipulasi informasi, dan tidak memicu konflik horizontal.
Penguatan peran Bawaslu sebagai pengawas pemilu
Penguatan peran Badan Pengawas Pemilu serta penerapan sanksi yang tegas dari pelanggaran juga wajib dikuatkan untuk lebih menertibkan kampanye diberbagai media. Putusan MK Nomor 104/2025 juga memberikan penguatan Bawaslu atas hasil-hasil pengawasan yang disampaikan kepada KPU.
Penguatan pengawasan partisipatif masyarakat
Pengawasan partisipatif masyarakat sangat penting sebagai bentuk pengawasan semesta mengingat jumlah personil pengawas pemilu dan kapasitas jangkauannya sangat terbatas. Pengawasan partisipatif masyarakat juga berdampak pada terbentuknya pengendalian diri (self cencorship) dari para pemilih untuk tidask melibatkan diri pada tindak kecurangan pemilu yang bisa berdampak pada pidana pemilu.
Masih ada waktu panjang untuk mempersiapkan penyelenggaraan pemilu selanjutnya. Tentunya kita berharap agar Pemerintah dan DPR RI segera melakukan berbagai upaya untuk mempersiapkan perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan semua peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemilu politik, pemilu dan pemerintahan agar sistem hukum kita menjadi paripurna, implementatif, serta visioner bagi kemajuan demokrasi di masa depan.
Dalam rangkaian peringatan Hari Jadi Bawaslu Kabupaten/Kota ke-7 tanggal 15 Agustus 2025, Bawaslu Kabupaten Wonosobo menyatakan komitmennya untuk menjalankan tugas penting mengawal demokrasi agar pemilu di Indonesia berjalan sesuai azasnya dan menghasilkan peta jalan (road map) kemajuan, kemakmuran dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.